Nama :
Destyani Eka Saputri
NPM :
29211200
Kelas :
2EB08
Judul : Keabsahan Perjanjian dengan
Klausul Baku
Pengarang : R.M Panggabean
Akibat Hukum Kontrak yang Tidak Menerapkan
Kebebasan Berkontrak
Adanya
persyaratan kata sepakat di antara pihak yang mengadakan perjanjian,
mengakibatkan kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan untuk menyatakan
kehendaknya, dalam hal ini para pihak tidak boleh mendapat sesuatu tekanan yang
mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.
Meskipun
telah ada pembatasan-pembatasan atas daya kerja atas asas kebebasan berkontrak,
namun batasan-batasan tersebut ternyata masih longgar. hal ini menimbulkan
suatu keadaan yang tak terbatas, sehingga dalam perkembangannya pembuatan
perjanjian yang semata-mata hanya berlandaskan pada bekerjanya asas kebebasan
berkontrak praktis tidak terbatas lagi, yang akhirnya akan merupakan ajang
perebutan dominasi antara para pihak, yaitu pihak yang kuat akan berusaha untuk
memaksakan kehendaknya terhadap pihak yang lebih lemah.
Perkembangan
tersebut di atas, pada akhirnya akan menimbulkan perjanjian yang bukan saja
berat sebelah atau timpang, tetapi juga sering mengandung klausula-klausula
yang secara tidak wajar memberatkan pihak yang lemah, misalnya
klausula-klausula eksemsi atau eksenorasi ataupun perjanjian dengan klausula
baku seperti yang sekarang umum dijumpai di dalam dunia bisnis. Pasal 1313 KUH Perdata telah memberikan
definisi yang cukup jelas perihal apa yang dimaksud dengan suatu perjanjian
ataupun persetujuan, yaitu, suatu perbuatan dengan mana satu orangatau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Wirjono Prodjodikoro lebih rinci lagi di dalam
memberikan arti dari suatu perjanjian yaitu suatu perhubungan hukum mengenai
harta benda antar dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap
berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,
sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.
Sebagaimana
kita ketahui bersama, berlakunya KUH Perdata kita ini karena diterapkannya asas
konkordasi oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga KUH Perdata kita merupakan
duplikasi dari KUH Perdata Belanda, sedangkan KUH Perdata Belanda juga
merupakan duplikasi dari Code Civil Perancis. Hal tersebut adalah wajar oleh
karena Indonesia bekas jajahan Belanda dan Belanda adalah bekas jajahan
Perancis. Revolusi Perancis telah
mengilhami ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, sebab dengan berpijak pada jiwa
dari revolusi Perancis tersebut yang menempatkan individu sebagai dasar dari
semua kekuasaan.
Paham
tersebut di atas menimbulkan konsekuensi bahwa orang juga bebas untuk
mengikatkan diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan serta
kontrak terjadi berdasarkan kebebasan kehendak yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai undang-undang. Di dalam kontrak jual beli BTS pada dasarnya tidak
didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, karena tidak ada konsensus atau kata
sepakat yang sebenarnya. Padahal asas konsensualisme dalam kontrak menjadi hal
yang mendasar. Di sini terdapat cacat kehendak.
Pada
dasarnya dalam kenyataannya (de facto) “isi perjanjiannya tidak diketahui” oleh
pihak yang disodori perjanjian standar, ini menjadi salah satu alasan pokok
keberatan. Dan katanya, bahwa kalaupun mereka tahu isinya, belum tentu mereka
maksud dan jangkauan daripada klausula-klausula yang ada disana. Ada yang
merinci keberatan-keberatannya antara lain dituangkan dalam suatu formulir,
isinya tidak diperbincangkan lebih dahulu : pihak yang disodori perjanjian
standar “terpaksa” menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah dan
karenanya disebut dwangcontracten,
dimana kebebasan berkontrak berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata sudah dilanggar.
Perjanjian (standar) kredit merupakan pencetusan dari
kekuatan
ekonomi bank sebagai pemberi kredit yang “menekan” penerima kredit. Ada pula
yang menyebutkan bahwa “paksaan syarat-syarat tersebut ada diantaranya menjadi
tidak normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya”
Ketiadaan
kata sepakat atau kata sepakat yang tidak betul-betul bulat tidak mengakibatkan
batalnya kontrak. Jika kekurangan yang berkaitan dengan perjanjian, yakni kata
sepakat dan kedewasaan hanya mengakibatkan kontrak dapat dibatalkan. Artinya
sepanjang kontrak tersebut telah dilaksanakan dan tidak ada pihak keberatan dan
meminta pembatalan kontrak ke pengadilan, kontrak tetap sah. Namun jika
kekurangan itu berkaitan syarat objektif, yakni tiadanya syarat objek tertentu
bertentangan dengan kausa yang halal, maka kontrak tersebut batal demi hukum.
Artinya sejak awal sudah tidak dan dianggap tidak pernah ada.
Untuk
lebih jelas mengenai akibat hukum apabila syarat sahnya kontrak tidak
terpenuhi. Hal ini bervariasi tergantung pada syarat apa yang tidak dipenuhi di
dalam kontrak tersebut, yang antara lain :
Pertama,kontrak
tersebut batal demi hukum (nietig, null and void), bilamana kontrak tersebut
tidak memenuhi syarat obyektif dari suatu kontrak. Adapun syarat obyektif dari
suatu kontrak adalah perihal tertentu dan kuasa yang legal sebagaimana yang
tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Kedua,kontrak
tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable), bilamana kontrak tersebut
tidak memenuhi syarat subyektif dari suatu kontrak. Adapun syarat subyektif
dari suatu kontrak adalah perihal kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat
sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kontrak tersebut
tidak dapat dilaksanakan ( unenforceable), yaitu kontrak yang belum mempunyai
kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi kontrak yang sah. Sebagai contoh dari
kontrak yang tidak dapat dilaksanakan tersebut adalah kontrak yang seharusnya
dibuat secara tertulis, tetapi oleh para pihak ternyata dibuat secara lisan. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, oleh para pihak kontrak tersebut kemudian dibuat
secara tertulis.
Dijatuhi
sanksi administrasi pada para pihak atau salah satu pihak yang terikat suatu
kontrak tersebut, misalnya bilamana terhadap suatu kontrak memerlukan izin atau
pelaporan terhadap instansi tertentu, seperti izin pelaporan kepada Bank Indonesiauntuk
suatu kontrak off shore loan. Jika salah satu atau kedua pihak tidak melaksanakan
kewajibannya, maka perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalan dapat dilakukan oleh
pihak-pihak dalam hal ada kesepakatan dalam perjanjian. Namun demikian, jika tidak diperjanjikan dan salah satu pihak
tidak setuju, pembatalan tersebut dapat dilakukan melalui putusan pengadilan.
Putusan
pengadilan adalah perlu untuk menyatakan pembatalan. Pihak yang berkepentingan
harus mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya persetujuan yang dibuatnya
dibatalkan. Andaikata pengadilan mengabulkan permohonan tersebut, maka
persetujuan yang dibatalkan tersebut menjadi batal dari semula. Persetujuan
tersebut mempunyai akibat-akibat hukum, namun kita harus memperhitungkan bahwa
akibat-akibat tersebut pada suatu ketika dapat dibatalkan.
Jika
terjadi pembatalan maka perjanjian berakhir, kewajiban yang telah dilaksanakan dapat
dipulihkan kembali dan yang belum dilaksanakan supaya dihentikan pelaksanaannya
atau tidak perlu sama sekali. Namun, bagaimanapun juga perjanjian itu mengikat,
dan masing-masing pihak harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah
dijanjikan dalam perjanjian itu. Manusia adalah manusia yang umumnya ingin mencari
keuntungan sendiri dengan dalam mengurangi tanggungjwabnya, meringankan bahkan
kalau mungkin menghapuskan sama sekali tanggungjawabnya dalam ikatan perjanjian
yang dibuatnya. Maka dari itu dalam banyak perjanjian kadang-kadang kita membaca
syarat-syarat yang dicantumkan dalam perjanjian itu maksudnya terutama ialah
ingin menghapuskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak dalam perjanjian
itu. Kadang-kadang orang mengambil sikap apa boleh buat karena adanya kebutuhan
yang mendesak sehingga ia terpaksa menandatangani perjanjian itu.
Ketentuan
hukum kontrak di Indonesia memang menekankan bahwa kesepakatan yang dicapai para
pihak sebagai salah satu dasar fundamental pembentukan perjanjian atau kontrak
yang sah haruslah tidak didasarkan oleh karena adanya paksaan ataupun penipuan
(misrepresentasi)ataupun kekhilafan dari pihak lainnya, dimana bila kesepakatan
tersebut kemudian dibuktikan dicapai oleh upaya yang dimaksud dalam Pasal 1321
KUH Perdata tersebut, maka akan memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk
memintakan pembatalan pada kontrak yang telah secara formal disepakati ataupun
ditandatangani oleh para pihak tersebut.
Akibat
hukum terhadap klausul-klausul yang dianggap dapat merugikan kepentingan
ataupun hak dari pihak mitra berkontrak yang posisinya lemah yang secara sadar
sering dipaksakan oleh pengusaha yang mempunyai posisi yang lebih kuat untuk
dipasangkan sebagai point perikatan ataupun klausula baku dalam suatu kontrak,
pada umumnya tidak diatur dengan secara tegas dalam ketentuan hubungan kontrak
Indonesia.
Pasal
1338 ayat (3) KUH Perdata hanya menasehatkan bahwa suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikad baik, dimana ketentuan ini tidak memberikan akibat
yang signifikan untuk dapat membatalkan suatu perjanjian yang telah ditandatangani
oleh para pihak yang oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata secara tegas diakui
mempunyai kekuatan sebagai undang-undang (bahkan berlaku sebagai lex specialis)
yang berlaku dan mengikat para pihak yang menandatangani kontrak tersebut.
Kemungkinan yang lebih dapat menjaga agar tidak terjadi kesewenang-wenangan
oleh pihak yang posisinya lebih lemah.
Suatu
perjanjian tidak hanya untuk hal-hal yang dengan jelas dinyatakan didalammnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Pasal ini belum secara tegas dapat
melindungi kepentingan-kepentingan klausula-klausula baku yang sering lebih
berbentuk klausula eklsempsi (exeplaion clause, exclusion clause). Karena kekuatan
dari konsekuensi ditandatanganinya suatu kontrak yang memberikan pengertian
berdasarkan hukum kontrak Indonesia bahwa kedua belah pihak telah melakukan
kewajiban “duty of care” ataupun “duty to real” membuat sulit bagi pengadilan
untuk menerima adanya langkah-langkah untuk melindungi hak-hak dari pihak yang
lemah atas dasar kerugian-kerugian yang muncul dari akibat diberlakukannya klausula
eksempsi ataupun klausul limitasi tersebut.
Khususnya
dalam suatu naskah kontrak tercetak yang diajukan kepada pihak konsumen untuk
ditandatangani, dimana sebenarnya sebelum langkah yang menandatangani kontrak
tersebut, tetap saja undang-undang masih melihat bahwa konsumen tersebut
mempunyai hak dan kewajiban untuk membaca (duty to read) dan memahami serta
melakukan perubahan terhadap draft kontrak yang tercetak tersebut (duty to
care) walaupun diakui situasi posisi konsumen yang cenderung berada pada posisi
yang dibutuhkan sulit untuk melakukan hal tersebut.
Kemungkinan
yang sangat tegas yang membuat konsumen atau pihak yang lemah tersebut dapat
menghindar dari suatu kerugian akibat dari kehadiran klausula baku tersebut
adalah apabila klausula baku yang dipaksakan tersebut bertentangan dengan
kepentingan publik, kesusilaan ataupun bertentangan dengan undang-undang yang
berlaku, yang membuat perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum atau dasar
pelanggaran keharusan klausul halalnya suatu perjanjian tersebut seperti yang
dimaksudkan oleh Pasal 1337 KUH Perdata. Artinya, harus ada ketegasan dari undang-undang
untuk melarang potensi-potensi penggunaan perjanjian baku (khususnya yang tidak
menggunakan persetujuan ataupun tanda tangan dari konsumen pada saat
pemberlakuannya) yang sering diberlakukan secara paksa oleh situasi, ataupun
klausula-klausula baku yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
pihak-pihak pengusaha, penjual, perusahaan asuransi ataupun perbankan, baik
melalui cetak huruf yang sengaja diperkecil dengan warna yang buram dan sulit
untuk dibaca, ataupun peletakan klausula tersebut pada bagian tersembunyi dari kontrak
ataupun peletakan klausula tersebut pada bagian terpisah akan tetapi tetap secara
niat dimaksudkan dalam suatu kesatuan dengan kontrak tersebut.
Tanpa
kehadiran undang-undang yang secara khusus melarang digunakannya bentuk-bentuk
perjanjian baku ataupun klausula baku tidak seimbang dan tidak adil serta tidak
memberikan perlindungan atau bahkan merugikan kepentingan dari konsumen
tersebut, tetap saja pengadilan masih enggan menjadikan dasar dari pencantuman
klausula baku tersebut sebagai dasar untuk membatalkan suatu kontrak ataupun
paling tidak membatalkan keberlakuan dari klausula baku yang merugikan
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar