Senin, 29 April 2013

Postingan 3



Nama : Destyani Eka Saputri
NPM  : 29211200
Kelas : 2EB08




Judul                : Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku
Pengarang       : R.M Panggabean

Akibat Hukum Kontrak yang Tidak Menerapkan Kebebasan Berkontrak

Adanya persyaratan kata sepakat di antara pihak yang mengadakan perjanjian, mengakibatkan kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan untuk menyatakan kehendaknya, dalam hal ini para pihak tidak boleh mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.
Meskipun telah ada pembatasan-pembatasan atas daya kerja atas asas kebebasan berkontrak, namun batasan-batasan tersebut ternyata masih longgar. hal ini menimbulkan suatu keadaan yang tak terbatas, sehingga dalam perkembangannya pembuatan perjanjian yang semata-mata hanya berlandaskan pada bekerjanya asas kebebasan berkontrak praktis tidak terbatas lagi, yang akhirnya akan merupakan ajang perebutan dominasi antara para pihak, yaitu pihak yang kuat akan berusaha untuk memaksakan kehendaknya terhadap pihak yang lebih lemah.
Perkembangan tersebut di atas, pada akhirnya akan menimbulkan perjanjian yang bukan saja berat sebelah atau timpang, tetapi juga sering mengandung klausula-klausula yang secara tidak wajar memberatkan pihak yang lemah, misalnya klausula-klausula eksemsi atau eksenorasi ataupun perjanjian dengan klausula baku seperti yang sekarang umum dijumpai di dalam dunia bisnis.  Pasal 1313 KUH Perdata telah memberikan definisi yang cukup jelas perihal apa yang dimaksud dengan suatu perjanjian ataupun persetujuan, yaitu, suatu perbuatan dengan mana satu orangatau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Wirjono Prodjodikoro lebih rinci lagi di dalam memberikan arti dari suatu perjanjian yaitu suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.
Sebagaimana kita ketahui bersama, berlakunya KUH Perdata kita ini karena diterapkannya asas konkordasi oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga KUH Perdata kita merupakan duplikasi dari KUH Perdata Belanda, sedangkan KUH Perdata Belanda juga merupakan duplikasi dari Code Civil Perancis. Hal tersebut adalah wajar oleh karena Indonesia bekas jajahan Belanda dan Belanda adalah bekas jajahan Perancis.  Revolusi Perancis telah mengilhami ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, sebab dengan berpijak pada jiwa dari revolusi Perancis tersebut yang menempatkan individu sebagai dasar dari semua kekuasaan.
Paham tersebut di atas menimbulkan konsekuensi bahwa orang juga bebas untuk mengikatkan diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan serta kontrak terjadi berdasarkan kebebasan kehendak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. Di dalam kontrak jual beli BTS pada dasarnya tidak didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, karena tidak ada konsensus atau kata sepakat yang sebenarnya. Padahal asas konsensualisme dalam kontrak menjadi hal yang mendasar. Di sini terdapat cacat kehendak.
Pada dasarnya dalam kenyataannya (de facto) “isi perjanjiannya tidak diketahui” oleh pihak yang disodori perjanjian standar, ini menjadi salah satu alasan pokok keberatan. Dan katanya, bahwa kalaupun mereka tahu isinya, belum tentu mereka maksud dan jangkauan daripada klausula-klausula yang ada disana. Ada yang merinci keberatan-keberatannya antara lain dituangkan dalam suatu formulir, isinya tidak diperbincangkan lebih dahulu : pihak yang disodori perjanjian standar “terpaksa” menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah dan karenanya disebut  dwangcontracten, dimana kebebasan berkontrak berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata sudah dilanggar. Perjanjian (standar) kredit merupakan pencetusan dari
kekuatan ekonomi bank sebagai pemberi kredit yang “menekan” penerima kredit. Ada pula yang menyebutkan bahwa “paksaan syarat-syarat tersebut ada diantaranya menjadi tidak normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya”
Ketiadaan kata sepakat atau kata sepakat yang tidak betul-betul bulat tidak mengakibatkan batalnya kontrak. Jika kekurangan yang berkaitan dengan perjanjian, yakni kata sepakat dan kedewasaan hanya mengakibatkan kontrak dapat dibatalkan. Artinya sepanjang kontrak tersebut telah dilaksanakan dan tidak ada pihak keberatan dan meminta pembatalan kontrak ke pengadilan, kontrak tetap sah. Namun jika kekurangan itu berkaitan syarat objektif, yakni tiadanya syarat objek tertentu bertentangan dengan kausa yang halal, maka kontrak tersebut batal demi hukum. Artinya sejak awal sudah tidak dan dianggap tidak pernah ada.
Untuk lebih jelas mengenai akibat hukum apabila syarat sahnya kontrak tidak terpenuhi. Hal ini bervariasi tergantung pada syarat apa yang tidak dipenuhi di dalam kontrak tersebut, yang antara lain :
Pertama,kontrak tersebut batal demi hukum (nietig, null and void), bilamana kontrak tersebut tidak memenuhi syarat obyektif dari suatu kontrak. Adapun syarat obyektif dari suatu kontrak adalah perihal tertentu dan kuasa yang legal sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Kedua,kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable), bilamana kontrak tersebut tidak memenuhi syarat subyektif dari suatu kontrak. Adapun syarat subyektif dari suatu kontrak adalah perihal kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kontrak tersebut tidak dapat dilaksanakan ( unenforceable), yaitu kontrak yang belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi kontrak yang sah. Sebagai contoh dari kontrak yang tidak dapat dilaksanakan tersebut adalah kontrak yang seharusnya dibuat secara tertulis, tetapi oleh para pihak ternyata dibuat secara lisan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, oleh para pihak kontrak tersebut kemudian dibuat secara tertulis.
Dijatuhi sanksi administrasi pada para pihak atau salah satu pihak yang terikat suatu kontrak tersebut, misalnya bilamana terhadap suatu kontrak memerlukan izin atau pelaporan terhadap instansi tertentu, seperti izin pelaporan kepada Bank Indonesiauntuk suatu kontrak off shore loan. Jika salah satu atau kedua pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalan dapat dilakukan oleh pihak-pihak dalam hal ada kesepakatan dalam perjanjian. Namun demikian,  jika tidak diperjanjikan dan salah satu pihak tidak setuju, pembatalan tersebut dapat dilakukan melalui putusan pengadilan.
Putusan pengadilan adalah perlu untuk menyatakan pembatalan. Pihak yang berkepentingan harus mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya persetujuan yang dibuatnya dibatalkan. Andaikata pengadilan mengabulkan permohonan tersebut, maka persetujuan yang dibatalkan tersebut menjadi batal dari semula. Persetujuan tersebut mempunyai akibat-akibat hukum, namun kita harus memperhitungkan bahwa akibat-akibat tersebut pada suatu ketika dapat dibatalkan.
Jika terjadi pembatalan maka perjanjian berakhir, kewajiban yang telah dilaksanakan dapat dipulihkan kembali dan yang belum dilaksanakan supaya dihentikan pelaksanaannya atau tidak perlu sama sekali. Namun, bagaimanapun juga perjanjian itu mengikat, dan masing-masing pihak harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah dijanjikan dalam perjanjian itu. Manusia adalah manusia yang umumnya ingin mencari keuntungan sendiri dengan dalam mengurangi tanggungjwabnya, meringankan bahkan kalau mungkin menghapuskan sama sekali tanggungjawabnya dalam ikatan perjanjian yang dibuatnya. Maka dari itu dalam banyak perjanjian kadang-kadang kita membaca syarat-syarat yang dicantumkan dalam perjanjian itu maksudnya terutama ialah ingin menghapuskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak dalam perjanjian itu. Kadang-kadang orang mengambil sikap apa boleh buat karena adanya kebutuhan yang mendesak sehingga ia terpaksa menandatangani perjanjian itu.
Ketentuan hukum kontrak di Indonesia memang menekankan bahwa kesepakatan yang dicapai para pihak sebagai salah satu dasar fundamental pembentukan perjanjian atau kontrak yang sah haruslah tidak didasarkan oleh karena adanya paksaan ataupun penipuan (misrepresentasi)ataupun kekhilafan dari pihak lainnya, dimana bila kesepakatan tersebut kemudian dibuktikan dicapai oleh upaya yang dimaksud dalam Pasal 1321 KUH Perdata tersebut, maka akan memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk memintakan pembatalan pada kontrak yang telah secara formal disepakati ataupun ditandatangani oleh para pihak tersebut.
Akibat hukum terhadap klausul-klausul yang dianggap dapat merugikan kepentingan ataupun hak dari pihak mitra berkontrak yang posisinya lemah yang secara sadar sering dipaksakan oleh pengusaha yang mempunyai posisi yang lebih kuat untuk dipasangkan sebagai point perikatan ataupun klausula baku dalam suatu kontrak, pada umumnya tidak diatur dengan secara tegas dalam ketentuan hubungan kontrak Indonesia.
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata hanya menasehatkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik, dimana ketentuan ini tidak memberikan akibat yang signifikan untuk dapat membatalkan suatu perjanjian yang telah ditandatangani oleh para pihak yang oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata secara tegas diakui mempunyai kekuatan sebagai undang-undang (bahkan berlaku sebagai lex specialis) yang berlaku dan mengikat para pihak yang menandatangani kontrak tersebut. Kemungkinan yang lebih dapat menjaga agar tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh pihak yang posisinya lebih lemah.
Suatu perjanjian tidak hanya untuk hal-hal yang dengan jelas dinyatakan didalammnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Pasal ini belum secara tegas dapat melindungi kepentingan-kepentingan klausula-klausula baku yang sering lebih berbentuk klausula eklsempsi (exeplaion clause, exclusion clause). Karena kekuatan dari konsekuensi ditandatanganinya suatu kontrak yang memberikan pengertian berdasarkan hukum kontrak Indonesia bahwa kedua belah pihak telah melakukan kewajiban “duty of care” ataupun “duty to real” membuat sulit bagi pengadilan untuk menerima adanya langkah-langkah untuk melindungi hak-hak dari pihak yang lemah atas dasar kerugian-kerugian yang muncul dari akibat diberlakukannya klausula eksempsi ataupun klausul limitasi tersebut.
Khususnya dalam suatu naskah kontrak tercetak yang diajukan kepada pihak konsumen untuk ditandatangani, dimana sebenarnya sebelum langkah yang menandatangani kontrak tersebut, tetap saja undang-undang masih melihat bahwa konsumen tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk membaca (duty to read) dan memahami serta melakukan perubahan terhadap draft kontrak yang tercetak tersebut (duty to care) walaupun diakui situasi posisi konsumen yang cenderung berada pada posisi yang dibutuhkan sulit untuk melakukan hal tersebut.
Kemungkinan yang sangat tegas yang membuat konsumen atau pihak yang lemah tersebut dapat menghindar dari suatu kerugian akibat dari kehadiran klausula baku tersebut adalah apabila klausula baku yang dipaksakan tersebut bertentangan dengan kepentingan publik, kesusilaan ataupun bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, yang membuat perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum atau dasar pelanggaran keharusan klausul halalnya suatu perjanjian tersebut seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 1337 KUH Perdata. Artinya, harus ada ketegasan dari undang-undang untuk melarang potensi-potensi penggunaan perjanjian baku (khususnya yang tidak menggunakan persetujuan ataupun tanda tangan dari konsumen pada saat pemberlakuannya) yang sering diberlakukan secara paksa oleh situasi, ataupun klausula-klausula baku yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pihak-pihak pengusaha, penjual, perusahaan asuransi ataupun perbankan, baik melalui cetak huruf yang sengaja diperkecil dengan warna yang buram dan sulit untuk dibaca, ataupun peletakan klausula tersebut pada bagian tersembunyi dari kontrak ataupun peletakan klausula tersebut pada bagian terpisah akan tetapi tetap secara niat dimaksudkan dalam suatu kesatuan dengan kontrak tersebut.
Tanpa kehadiran undang-undang yang secara khusus melarang digunakannya bentuk-bentuk perjanjian baku ataupun klausula baku tidak seimbang dan tidak adil serta tidak memberikan perlindungan atau bahkan merugikan kepentingan dari konsumen tersebut, tetap saja pengadilan masih enggan menjadikan dasar dari pencantuman klausula baku tersebut sebagai dasar untuk membatalkan suatu kontrak ataupun paling tidak membatalkan keberlakuan dari klausula baku yang merugikan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar