Senin, 29 April 2013

Postingan 2



Nama : Destyani Eka Saputri
NPM  : 29211200
Kelas : 2EB08



Judul                : Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku
Pengarang       : R.M Panggabean

Hasil dan Pembahasan
Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku
Untuk menentukan atau menilai keabsahan kontrak jual beli BTS yang dituangkan dalam perjanjian standar harus dikaji bagaimana hukum kontrak mengatur syarat-syarat keabsahan kontrak. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: (1). Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan; (3) harus ada suatu hal tertentu; dan (4) harus ada suatu sebab (causa) yang halal.
Persyaratan tersebut di atas berkenaan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian. Persyaratan yang ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg,  null and void,void ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar,voidable) suatu perjanjian. Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.
Pakar hukum Indonesia umumnya berpendapat bahwa apabila persyaratan subjektif perjanjian (kata sepakat dan kecakapan untuk melakukan perikatan) tidak dipenuhi tidak mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi hanya dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Apabila persyaratan yang menyangkut objek perjanjian (suatu hal tertentu dan adanya  causahukum yang halal) tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi ( accceptatie ). Mengingat tidak adanya definisi penawaran tersebut, Rutten mendefinisikan penawaran sebagai suatu usul untuk menutup perjanjian yang ditujukan kepada pihak lawan janjinya, usul mana telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan usul itu langsung menimbulkan perjanjian.
Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kesesuaian kehendak antara dua saja belum melahirkan perjanjian, karena kehendak tersebut harus dinyatakan, harus nyata bagi pihak yang lain, dan harus dapat dimengerti oleh pihak lain. Apabila pihak yang lain tersebut telah menyatakan menerima atau menyetujuinya, maka timbullah kata sepakat.
Orang dapat mengatakan bahwa suatu pernyataan adalah suatu penawaran apabila hal itu sampai pada orang yang diberikan penawaran, sedang pernyataan itu sendiri haruslah diartikan sebagai suatu tanda yang dapat diketahui dan dimengerti oleh lawan janjinya. Konsekuensinya, jika terjadi karena penawaran itu diterima secara keliru “ada akseptasi yang menyimpang dari penawarannya”maka pada dasarnya tidak lahir perjanjian. J.Satrio menyebutkan ada beberapa cara untuk mengemukakan kehendak tersebut, yakni secara tegas, tertulis,  dengan tanda, dan diam-diam.
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu adanya paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling), dan adanya penipuan (bedrog); dan dalam perkembangan lebih lanjut, dikenal pula cacat kehendak yang lain, yakni penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Jadi, sekarang ini dikenal adanya empat kelompok bentuk cacat kehendak.
1. Paksaan
2. Kekeliruan atau kesesatan
3. Penipuan
4. Akibat hukum kontrak yang menerapkan kebebasan berkontrak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar